Merasakan Hidup Bersama Warga Pulau Terluar di Kabupaten Sitaro Sulawesi Utara

Pulau Mahoro Sitaro
Keindahan Pulau Mahoro di Kabupaten Sitaro

Kabupaten Sitaro ini singkatan dari 3 Pulau di lepas pantai Sulawesi Utara, yaitu Siau, Tagulandang dan Biaro. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Sangihe Talaud yang sangat luas terhampar dari perbatasan Kota Manado sampai Perbatasan Negara tetangga Filipina. Itu sebabnya, pada tahun 2007 lalu lahirlah Kabupaten hasil pemekaran yaitu Kabupaten Sitaro. Luas Kabupaten Sitaro menurut sumber Wikipedia adalah 275 Km² serta dihuni oleh kurang lebih 71 ribu jiwa.

Tahun 2015 lalu, kebetulan saya pernah diminta bantuan oleh rekan saya Ibu Jilmi yang sedang melaksanakan sebuah project survey mengenai potensi perikanan disana. Seperti biasa, sesuai profesi saya sebagai film maker, saya dimitna untuk mengambil dokumentasi udara serta bawah air di sebuah pulau di Kabupaten Sitaro, namanya Pulau Mahoro.

Perjalanannya sendiri tahun 2015 lalu, tapi saya masih ingat persis pengalaman yang tak terlupakan tinggal bersama masyarakat pesisir di pulau terluar negeri ini. Jadi tak ada salahnya saya tuliskan blog ini dua tahun kemudian, supaya tidak lupa, dan siapa tau juga berguna bagi temen-temen atau bagi masyarakat yang ada di Pulau Mahoro sendiri.

Perjalanan dimulai dari Jakarta, kebetulan waktu itu meskapai Citilink baru membuka penerbangan perdana Jakarta - Manado, jadi kami termasuk penumpang yang ikut dalam penerbangan inagurasi tersebut. Setibanya di Manado, kami menginap semalam, karena perjalanan ke Siau akan kita lakukan keesokan harinya.

Penerbangan Inagurasi Citilink rute Jakarta Manado
Penerbangan Inagurasi Citilink rute Jakarta Manado

Pagi harinya, kami langsung berkemas membawa peralatan, 2 buah drone, 1 unit kamera bawah air, beserta beberapa unit kamera. Saya ditemani oleh rekan kerja saya Yudha Ardias yang kebetulan juga penyelam. Setibanya di Pelabuhan Kota Manado, kami menumpang kapal cepat "Majestic Kawanua", yang akan membawa kami ke Pulau Siau di Kabupaten Sitaro.

Sekilas mengenai kapal Majestic Kawanua ini, kapal yg cukup besar, memuat banyak penumpang, terbagi dalam beberapa kelas. Kelas yg kami tumpangi kebetulan VIP, dengan ruangan ber AC, kursi yang nyaman, dilengkapi dengan TV besar yang memutar film holywood. Perjalanan dari Manado ke Siau kurang lebih 3 jam, hampir tak terasa karena saya kebetulan menonton film yang ditayangkan. Malah film belum selesai, kapal sudah tiba di Siau.

Suasana Interior Kapal Cepat Majestic Kawanua

Penampakan Kapal Cepat Majestic Kawanua Rute Manado - Sitaro

Di Pulau Siau yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Sitaro, kami turun beserta seluruh barang bawaan kami. Disana kami sudah disuguhkan pemandangan laut yang biru, dermaga dengan air yang sangat jernih, serta Gunung Karangetang yang berada tinggi menjulang tepat dibelakang kami.

Awalnya memang kami semua team akan diinapkan di Hotel di Siau, tapi ada perubahan rencana yang mana akhirnya kami semua akan tinggal ala 'homestay' dengan penduduk, langsung di Pulau Mahoro. Ya gapapa lah, sekalian merasakan Hidup bersama masyarakat pesisir pikir saya. Karena kebetulan team kerja juga sudah antisipatif dengan membawakan beberapa sleeping bag, kelambu nyamuk, dll.

Kapal kecil atau yang disana disebut dengan 'Katinting' pun sudah siap membawa kami semua menuju ke Pulau Mahoro yang berada tak terlalu jauh dari Pulau Siau. Terlihat air laut yang sangat jernih, nelayan-nelayan yang sedang beraktifitas, sampai akhirnya kami tiba di dermaga kecil Pulau Mahoro.

Perjalanan ke Pulau Mahoro

Karena saya ini mahluk kota yang addicted dengan internet atau golongan 'Fakir Sinyal', begitu datang ke daerah baru pasti saja yang di cek adalah ponsel. dan ternyata ohhh meeen..... tidak ada sinyal sama sekali disini !   aduhhhh....  Tapi gapapa, semua itu wajib disyukuri, itu prinsip saya untuk selalu berfikir positif. Mungkin ini waktu yang disediakan Tuhan untuk saya melihat kehidupan ketimbang cuma mantengin medsos dengan hiruk pikuk politiknya ha ha ha.

Kami pun ditunjukan rumah yang telah di sewa team kerja untuk menjadi rumah kami beberapa hari kedepan. Kalo di kota besar, yang pasti ini rumah disebut belum jadi, karena memang tidak di cat, hanya dari semen saja. Tidak ada jendela, dengan pintu seadanya. Tidak ada lantai keramik, dan warna cat dinding yang terang. Semua satu warna yaitu warna semen, tak ada ranjang, tak ada living room yang layak. Tapi gapapa toh, panitia sudah siapkan kasur angin lengkap dengan kelambu. Amannn deh, Pikirku, lha dulu camping di hutan pun kan kurang lebih seperti ini, malahan beratapkan langit.

Homestay kami di Pulau Mahoro

Peralatan Tempur Kami semua !

Karena rumah yang disewa terlalu kecil, dengan team kerja yang cukup banyak, dan karena saya lebih seneng tidur dengan udara yang lebih bersirkulasi, akhirnya saya mencoba mencari alternatif tempat untuk saya tidur nanti malam. Aduh, seandainya bawa tenda, pasti saya pilih tidur di pasir putih dengan tenda. Tapi sayang saya tak membawa tenda karena, barang bawaan sendiri sudah sangat banyak. Alhasil akhirnya saya memilih bangunan disebelah rumah, biasanya difungsikan oleh warga sebagai tempat ibadah / gereja. Di malam pertama saya beserta 3 orang lainnya tidur di bangunan yang agak luas, namun tidak berjendela, dan sebagian atapnya terbuka. Waduh gimana kalo hujan pikir ku, ah hanya berharap mudah2an saja tidak hujan.

Akhirnya saya memilih tidur disini

Malam pertama kami lewati dengan aman, bangun pagi, persiapan untuk bekerja di hari itu. Kami berangkat ke sebuah pulau di seberang tempat pulau kami tinggal. Kami pun menyelam beberapakali hari itu, sambil beberapa kali mengambil foto udara dengan drone yang kami bawa. 

Penyelaman disini airnya jernih sekali, daya pandang (visibility) bisa mencapai 30 meter lebih, suatu hal yang langka terjadi di tempat-tempat lain bahkan raja ampat sekalipun. Hanya saja memang ikan-ikannya sedikit, hanya ada ikan-ikan kecil yang ada disini. Mungkin sudah habis di tangkap oleh nelayan korporasi dengan alat tangkap canggihnya. Waduh jadi berprasangka buruk sih, tapi ini logis loh, Nelayan tradisional dengan peralatan terbatas nyaris tidak mungkin bisa menangkap ikan dalam jumlah semasif yang tersedia di negeri sarangnya ikan seperti Indonesia. Negara kepulauan yang letaknya langsung di pusat segitiga karang dunia (World Coral Triangle). Makanya saya sangat mendukung penuh semua kebijakan yang diambil oleh Ibu Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti. Nyaris tak ada satupun pendapat beliau yang tidak saya setujui, termasuk soal reklamasi :) ha ha.

Underwater dengan air yang jernih tapi sayang ikan besar nyaris nihil


Terumbu karang dan formasi bawah airnya cukup berpotensi di Pulau Mahoro


Sore hari selesai beraktifitas, kami kembali ke markas kami. Naaaahhh mulai deh kerasa betapa hidup sebagai masyarakat pesisir di pulau terluar NKRI. Kalo cuma soal tidur beratapkan langit, itu sudah biasa bagi saya pecinta alam. Toh kalo camping, tidur diatas rumput kan ?  Iya, tapi tidak soal air bersih.  Camping di gunung, sangat mudah menemukan sungai berair bersih yang layak dipake mandi dan masak sekalipun. Disini ???  Hmmm....

Karena badan lengket sehabis menyelam, pasti saya butuh mandi donk. Kalau kemaren saya tidak mandi karena memang malas ha ha ha. Hari ini saya ga mungkin gak mandi karena habis menyelam tak mandi tentu akan sangat tersiksa. Setelah kami tanya kepada warga, dimana tempat mandi ?  Mereka menunjukan jalan ke arah sumur tempat kami bisa mandi cuci kakus. Sayapun mengikuti instruksi mereka, jalan sedikit kearah semak semak, melihat lihat sekeliling, mana ada sumur disini, padahal lokasinya sudah benar sesuai arahan warga setempat.

Saya mencari sumur yang dalam bayangan saya, sebuah bangunan berbentuk lingkaran, dimana diatasnya terdapat tali kerekan untuk mengambil air. Dan saudara-saudara setanah air, saya tidak menemukannya donk. Kebetulan ada warga yang melintas, kontan saya tanyakan, Pak sumur dimana ya ?   Beliau langsung sigap menunjuk ke arah lubang yang menganga disebelah tempat saya berdiri, "Ini Pak !". Sayapun langsung melihat ke arah lubang tersebut, ASTAGA NAGAAAA.... ini loh sumurnyaaaa ??????    Aduhhh... tidak berdinding, tidak berpembatas dengan tanah sekitarnya, Didalamnya terlihat air yang sangat keruh mengisi lubang tersebut. Dalamnya pun tidak terlalu dalam, mungkin hanya 2-3 meter saja, lebih tepat ini sih disebut lubang penampungan hujan...."Gleg" saya pun menelan air liur.

Ini ternyata sumurnya !

Kondisinya seperti ini...

Apa boleh buat ?  Daripada badan lengket, Marilah kita Enjoy saja mandi air hujan. Air hujan itu bersih loh, itu yang saya tanamkan di pikiran saya supaya pikiran ini tetep enjoy. Padahal logika saya berkata lain, disana kan banyak hewan ternak dari Ayam, Anjing, sampai Babi karena warga disini yg hanya berjumlah 12 Kepala keluarga semuanya bukan muslim, jadi babi merupakan ternak yang lumrah disini. Kebayang donk itu hewan-hewan ternak kalo pup ditanah, lalu tersapu oleh air hujan dan masuk ke lubang itu ?   Aduuuhhh.... pikiran itu saya buang jauh jauh deh.

Hewan-hewan ternak, semua ada !

 Oke, jadi problema kita tinggai disini sudah terdeteksi !  Bukan soal tempat tidur, tapi masalah air bersih. Spontan langsung saya cek makanan yang saya makan selama disini, air apa yg digunakan. Saya cek ke dapur, Ohhhh syukurlah, ternyata tim dapur membawa banyak Galonan Aqua untuk keperluan masak & minum. AMAN!  kalo begitu !

Malam kedua, saya kembali tidur di tempat yang sama, hanya saja temen-temen tidur saya memilih hengkang mencari tempat tidur lainnya karena sempet mimpi buruk semalam kemarin. Padahal saya sih biasa biasa aja, tidur pules malah hampir telat bangun di pagi hari. Sambil merenungkan soal air bersih dipulau itu, akhirnya saya pun tertidur pulas sampai tiba tiba suara menggelegar "DWARRRRR", saya pun terjaga oh noooo ternyata suara petir serta angin kencang, dan tempat tidur saya sudah mulai dibasahi air hujan. Karena bangunan tersebut setengah jadi, atapnya masih banyak yg terbuka dan air hujan pun langsung membasahi tempat saya tidur. Saya mencoba berimprovisasi membuat semacam tenda dari kain-kain yang ada di gereja tersebut, akhirnya saya melanjutkan tidur dengan tiupan angin kencang dan sedikit air hujan menciprati wajah saya.

Hari kedua saya kembali bekerja, menyelam, dan mengambil gambar. Hari-hari tak terlalu terasa saat kami semua beraktifitas di siang hari. Keresahan mulai timbul saat kami kembali ke desa. Waktu-waktu senggang kami habiskan di ujung dermaga, karena disitulah satu satunya tempat yang jika beruntung bisa dapat sinyal "EDGE", kadang pesan BBM dan WA bisa masuk meskipun lambatnya setengah mati.


Pulau Mahoro

Dermaga Bersinyal

Malam harinya kami berbaur bersama warga setempat, ngobrol ngalor ngidul, sampai satu topik mereka bercerita tentang jatuhnya meteor di pulau itu. Batu hitam yang mereka tunjukan adalah sepertinya betul berasal dari langit. Saya mencoba mengangkatnya cukup berat dan sangat padat. Mereka meyakini batu tersebut memiliki kekuatan Gaib yang menjaga Pulau mereka dari ancaman bahaya termasuk Tsunami. Pernah satu waktu batu tersebut konon dijual kepada salah seorang saudagar di Kalimantan, namun karena sebuah mimpi, akhirnya saudagar tersebut mengembalikan batu tersebut kepada warga sana.

Batu meteor yang dipercaya masyarakat setempat sebagai pelindung

Singkat cerita, berakhirlah sudah tugas negara yang kami emban di sana, pagi itu dengan muka sumringah kami berkemas-kemas untuk kembali ke kota, padahal kami sudah mulai terbiasa loh dengan kehidupan mereka. Sebelum pulang saya coba menyusuri jalan setapak yang ada di sebelah kiri kampung. Konon jalan tersebut mengarah ke kampung sebelah, tapi sayang saya tak sempat mencoba berkunjung ke kampung sebelah. Jalan tersebut mendaki bukit, setibanya di bukit, wow pemandangan indah sekali, saya hanya membawa HP, jadi saya ambil beberapa fotonya menggunakan smartphone blackberry Q10 saya.

Keindahan Pulau Mahoro dijepret pakai Smartphone

Sambil berjalan-jalan, saya mengamati rumah-rumah mereka rata-rata memiliki satu unit Solar Panel yang terhubung dengan 1 lampu. Sejak awal tiba disini memang saya tidak terlalu risau dengan listrik karena tim kerja kami membawa genset, jadi listri tersedia 24 jam. Setelah saya tanyakan kepada warga, ternyata solar panel itu adalah sumbangan dari pemerintah untuk warga desa sana. Disana tidak ada listrik, warga menggunakan genset untuk penerangan. Spontan di benak saya, lha kenapa gak dana solar panel di gunakan saja untuk membangun fasilitas sumber air bersih ?  itu lebih penting menurut skala prioritas saya.

Ini Panorama Markas kami selama beberapa hari mengemban tugas negara di Pulau Mahoro Kab. Sitaro

Sitaro Project 2015 All Team


Sore hari kami tiba di Kota Manado, panitia kerja memberi kami hotel bintang 4 di Manado Tateli, begitu kami masuk kamar hotel, saya begitu bahagia bukan melihat ranjang yang empuk, tapi melihat air bersih yang mengalir kuat dari keran di kamar mandi. Ingin rasanya saya membuat pipa dari sini untuk mereka yang ada di Pulau Mahoro. 

Demikianlah cerita kami dari pesisir terluar negeri ini, dimana kehidupannya tidak seindah yang kita rasakan di kota. Tapi meski begitu, selalu ada senyum dan kebahagiaan bagi mereka yang menjalankannya, itulah letak Keadilan Tuhan, dimana kebahagiaan bukan selalu soal materi.  Harapan saya, semoga saudara-saudara kita yang tinggal jauh dari peradaban modern ini diberikan perhatian khusus oleh pemerintah, sehingga bisa menjalani kehidupannya dengan layak. Mari kita hargai AIR BERSIH yang ada pada kehidupan kita.

Setiap perjalanan pasti memiliki cerita, itulah guna traveling buat hidup saya. Memberi pelajaran moral tentang empati, membuka wawasan, dan segudang manfaat serta hikmah lainnya. Tak pernah kapok saya berpetualang, semoga cerita ini membawa manfaat bagi kita semua termasuk warga Pulau Mahoro. 


Photo Courtesy of:
Kaufik Anril
Yudha Ardias

Penulis adalah Film Maker & Pilot drone di:
www.anrilfilm.com
www.helicamindo.com






Komentar

TULISAN LAINNYA

Ada apa di Kabupaten Fakfak Papua Barat ?

Jasa Fotografi & Video Ditawar sadis, berapa sih harga yang wajar ?

Mengintip dan Membandingkan Spesifikasi Drone DJI Mavic Air