Beralih dari Helicam ke Multicopter Drone Untuk Kegiatan Foto Udara (Drone story #2)


Drone Multirotor saya yang pertama untuk aerial photography
Drone tipe Multirotor saya yang pertama setelah Helicam untuk aerial photography

Tulisan ini merupakan sambungan cerita dari tulisan saya yang ini: http://www.kaufikanril.com/2017/12/helicam-cikal-bakal-drone-photography.html . Tanggal 28 Oktober 2012, saat negara kita mengenang peristiwa Sumpah Pemuda yang menjadi momentum kebangkitan bangsa, saya pribadi pun mengenang hal yang sama. Yaitu kebangkitan semangat serta bangkit dari kegagalan dalam rangka mengejar ilmu dan pengalaman !   Betapa tidak, kenyataan pahit waktu itu Helicam kesayangan saya TREX550 beserta seluruh gimbalnya CRASH kecemplung masuk ke Sungai Citanduy di Jawa Barat Selatan. Beruntung tak ada korban jiwa selain helicam yang nyaris total lost dalam peristiwa itu. Kenapa korban jiwa ?  Helicopter RC memiliki panjang blade yah jauh lebih besar dan berat ketimbang drone multirotor, yang pada putaran RPM tinggi berpotensi besar melukai bahkan menyebabkan kematian pada mahluk hidup termasuk manusia bila terjadi kecelakaan.

Ceritanya waktu itu dalam rangka riset dan pembuatan portofolio baru untuk bisnis aerial fotografi dengan drone saya di HELICAMINDO.COM , saya mencoba sebuah komponen flight controller baru berteknologi GPS untuk diaplikasikan pada Helicam ukuran sedang yang saya miliki yaitu Align TREX 550. Maklum jaman itu, menerbangkan drone dengan kemampuan hold position yang menggunakan teknologi GPS sangat diidamkan oleh pilot aerial photography yang masih menggunakan drone jenis helicam dimanapun. 

Karena teknologi flight controller saat itu belum mencapai titik 'mature' baik secara hardware maupun software, entah mengapa yang terjadi saat itu, ketika helicam baru saja take off beberapa saat tiba-tiba setelah mengudara 1 menit saat saya masih check control, tiba tiba helicopter mengamuk bergerak tak terkendali dan akhirnya menabrak pohon dan ternggelam di tepian sungai Citanduy sewaktu akan mengambil video udara aktifitas kano. Padahal hari itu helicam sudah terbang yang ke-2xnya tanpa masalah apapun sebelumnya. Inilah resiko pegiat Drone Fotografi, tak satupun pihak yang bisa MENJAMIN setiap benda terbang ciptaan manusia di dunia ini tidak akan pernah JATUH. Bahkan pesawat terbang dengan grade militer pun bisa saja jatuh tanpa diketahui penyebabnya. Apalagi ini hanyalah sebuah drone dengan grade hobby.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut adalah hari-hari yang paling berat yang saya lalui, mengingat biaya pembelian komponen yang di experimenkan waktu itu kurang lebih 5 juta rupiah baru saja di cicil 12x via pembelian dengan kartu kredit. Ini artinya 12 bulan kedepan saya membayar sesuatu yang sudah tidak ada. Tapi, meski menyakitkan, the show must go on !  Dikuatkuatkan dan ditabah-tabahkan hati ini menerima kenyataan. Mungkin ini takdir Tuhan, dalam hatiku menghibur diri. Pertanyaan ini akan dijawab di akhir artikel.

Disaat kondisi sedang guncang dan galau, nyaris saya memutuskan berhenti dari aktifitas kegiatan foto udara yang beresiko ini. Ini crash pertama saya yang menyebabkan total lost alias nyaris hilang 1 drone jenis helicam seharga puluhan juta rupiah belum lagi ditambah hutang cicilan selama satu tahun.Tapi beruntung saat itu saya memilih untuk PANTANG MENYERAH !

Saya memilih Drone Hexcopter sebagai wahana foto udara saya yang pertama
Saya memilih Drone Hexcopter sebagai wahana foto udara saya yang pertama

Waktu itu teknologi Multicopter / multirotor yang lebih kita kenal dengan drone sedang mulai naik daun mencuri perhatian para operator Helicam / Helicopter RC agar beralih menggunakan Multi Rotor Drone untuk kegiatan aerial photography maupun video. Harganya pun lebih murah untuk sebuah fitur yang mahal di Helicam. Ya, saat itu DJI NAZA yang merupakan flight controller / otak dari drone jenis multi rotor sudah menawarkan fitur position hold dengan mengandalkan sensor GPS. Ini berarti pilot sama sekali tidak direpotkan untuk pengendalian drone yang sulit seperti pada Helicam. Waw, jujur sangat menarik untuk merakit si Multi Rotor ini, tapi mau tidak mau saya harus update pengetahuan saya yang saat itu sudah begitu Khatam dibidang perakitan Helicopter 6CH. Bahkan saya sudah investasi banyak peralatan dan knowledge untuk perakitan Helicopter RC, dari kunci-kunci, pitch gauge, ESC programmer, flight controller, gyro, dll.

Ya mungkin harus EXIT from comfort zone pikir saya waktu itu, dimulai lah saya untuk update knowledge, yuk kita belajar teknik Multi Rotor yang sebenernya jauh lebih sederhana ketimbang Helicopter Single Blade. Apa bedanya ?   Helicopter berbaling baling tunggal mengandalkan putaran baling-baling utama untuk daya angkatnya, sedangkan untuk mengcounter gaya sentrfugal yang timbul dari putaran baling-baling utama, dibuatlah tail rotor yang sebetulnya terhubung dengan main rotor melalui tail boom. Gerakan pitch dan roll (kendali kiri kanan, depan belakang, miring kiri kanan) didapatkan dari komponen cyclic yang harus di stel dan cukup kompleks proses penyetelannya. Oleh sebab itu Algoritma pemrograman Flight Controller untuk single blade helicopter jauh lebih kompleks ketimbang Multi Rotor dan harganya pun lebih mahal.

Pada wahana drone jenis multi rotor atau multicopter, daya angkat serta manuveribilitas (kendali pergerakan) drone sepenuhnya hanya di kendalikan berdasarkan pengaturan putaran motor pada masing-masing rotornya. Contohnya, bila kita memberikan kecepatan putar yang sama pada setiap rotor pada drone quadcopter berbaling baling empat, maka dia akan bergerak vertikal naik keatas. Bila kecepatan kedua motor pada sisi kiri kita buat lebih lambat daripada kecepatan rotor pada sisi kanan, maka drone akan bergerak kearah kiri, begitu sebaliknya untuk gerakan ke kanan, depan dan belakang. Khusus untuk yawing (gerakam memutar), digunakan teknik cross, yaitu pengaturan kecepatan rotor pada posisi rotor yang bersilangan. Karena cara kerja multirotor yang jauh lebih sederhana ketimbang helicopter, maka biaya produksi flight controller drone jenis multi rotor jauh lebih murah ketimbang helicopter RC. Itu sebabnya drone fotografi yang berkembang terus adalah jenis drone multi rotor.

Satu Set DRONE Multirotor untuk foto udara era tahun 2013
Satu set lengkap Multirotor Drone, masih menggunakan 1 camera operator selain pilot


Pada Multicopter atau Multi rotor, komponen utamanya hanya ada 3 yaitu Rotor (Motor dan baling balingnya), Electronic Speed Controller (ESC), yang terhubung dengan Flight Controller (Otak Drone). Semuanya dicatu daya oleh Battery LIPO dirangkai diatas sebuah Multi Rotor Frame.

Multirotor ini ada beberapa jenis / varian, antara lain:
  1. Bi Copter - Berbaling baling dua, kurang populer untuk kegiatan foto udara.
  2. Tricopter - Berbaling-baling tiga, dengan satu sumbu dilengkapi servo untuk kendali YAW (sumbu putar).
  3. Quadcopter - Berbaling-baling empat, ini paling populer diadopsi oleh drone fotografi karena paling sederhana, ukuran ramping, rasio power efisien, dll. Tapi punya kelemahan dimana bila saja satu rotornya mengalami kegagalan operasi, maka tanpa ampun drone akan menghujam tanah.
  4. Hexcopter - Berbaling-baling enam, Drone jenis ini juga banyak di adopsi dari jenis rakitan sampai branded drone seperti DJI S800, S900, semuanya mengadopsi 6 baling-baling. Kelistrikan lebih boros karena harus menggerakan 6 rotor sekaligus, tapi keuntungannya bila terjadi kegagalan pada satu rotornya, dengan kepiawaian pilot yang berpengalaman, drone masih mungkin bisa didaratkan dengan kerusakan yang minimal. Artinya tidak langsung menghujam tanah. Bahkan dengan kecanggihan algoritma software, beberapa flight controller memiliki fitur menstabilkan penerbangan hexcopter yang mengalami gagal pada 1 rotornya.
  5. Octocopter - Berbaling-baling 8, Drone jenis ini sangat disarankan untuk membawa camera besar dan mahal. Meskipun efisiensi kelistrikan cukup boros, beberapa drone pabrikan seperti DJI S1000 mengadopri Octocotper untuk Heavy Lifter Drone nya. Karena dengan Octocopter, pilot tak akan menyadari bila terjadi kegagalan pada maksimal 2 rotor (yg posisinya tidak bersebelahan). Jadi masalah safety jauh lebih unggul ketimbang drone jenis lainnya.
Multirotor pertama yang saya pilih waktu itu adalah jenis Hexcopter berbaling-baling 6, menggunakan frame DJI F550, speed controller & motor paketan langsung dari DJI, beserta propelernya. Proses perakitannya pun relatif jauh lebih mudah ketimbang perakitan Helicopter RC. Yang agak sulit seperti biasa adalah mengaplikasikan gimbal yang cocok dengan frame drone yang kita miliki.

Drone Hexcopter era tahun 2013 dengan Gopro
Multi Rotor Drone F550 lengkap dengan gimbal Airbone untuk sebuah misi uji coba

Hexcopter Drone era tahun 2013
Dilengkapi lampu untuk penerbangan malam


Singkat cerita tanpa melalui kesulitan yang berarti, jadi lah drone jenis Multi Copter yang pertama saya tapi wahana terbang ke-4 yang saya miliki. Saya melengkapi Drone Multicopter pertama saya dengan kamera Gopro Hero 2, dengan Gimbal 2 axis yang di stabilisasi dengan menggunakan Servo. Gerakan stabiliser servo mengandalkan data input dari gyro bekas helicopter saya dulu. Alhasil jadilah Drone saya waktu itu, dan langsung dipake untuk beberapa pekerjaan.

Job pertama saya menggunakan drone jenis Multirotor (sebelumnya menggunakan helicam) adalah sebuah project film Pre Wedding yang berjudul "Return To Memory" untuk client saya Matt & Eva. Film ini menceritakan bagaimana sejarah pertemuan pasangan ini sampai akhirnya sepakat untuk menikah. Karena latar belakang cerita client saya ini melibatkan 3 negara, maka waktu itu saya berangkat ke Kuala Lumpur Malaysia lengkap dengan drone multi rotor pertama saya waktu itu.

Bagaimana rasanya bekerja dengan drone jenis multirotor dibanding dengan helicam ?  Wahhhh jauh lebih bahagia, karena barang bawaan jauh lebih ringan dan ringkas ketimbang membawa sebuah pesawat RC Helicopter lengkap beserta peralatan tempurnya seperti monitor, tripod, remote control dan lain-lain.


Oh ya waktu pengambilan gambar di Lapangan Golf untuk film tersebut, drone sempat mengalami insiden dimana satu rotornya gagal. Tapi seperti yang saya kemukakan diatas, hexcopter tidak langsung jatuh saat satu rotornya mengalami kegagalan. Drone berhasil mendarat tanpa kerusakan yang berarti. Rupanya kegagalan tersebut disebabkan oleh ukuran propeler yang lebih besar dari ukuran seharusnya. Itulah prinsip saya dalam ngedrone, setiap crash, kita harus selidiki penyebabnya, dan dijadikan pelajaran agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.

Beberapa Job foto udara sempat juga dikerjakan menggunakan drone Hexcopter ini saya lupa detailnya. Yang pasti satu pre wedding movie lainnya berjudul "Eat eat and love" untuk client kami Arief & Meiliani juga menggunakan drone ini. Lokasi shootingnya di Bali, dengan konsep yang lebih sederhana. Oh ya pada shooting film pre wedding ini, drone juga sempat melakukan night flying untuk mengambil adegan api unggun seperti bisa ditonton videonya dibawah ini.



Satu job non pre wedding yang kami kerjakan dengan drone ini adalah project Aerial Video Shooting untuk Kota Wisata Cibubur. Dsini drone kami juga sempat mengalami insiden, karena terbang diatas jalan raya, sekonyong konyong melintas sebuah truk besar yang menyebabkan hembusan angin yang cukup kuat kearah drone, sehingga barometer pada flight controller drone menganggap telah terjadi peningkatan tekanan yang berarti drone sedang bergerak turun, computer drone pun bertindak otomatis merespon dengan meningkatkan throtle putaran baling-baling sehingga drone tiba tiba bergerak cepat keatas dan menabrak pepohonan diatas. Alhasil drone pun nyangkut diatas pepohanan yang tingginya sulit dicapai. Beruntung ada mobil alat berat yang melintas, kami meminta tolong mereka untuk mengambilkan drone kami yang nyangkut diatas pohon. Dari sini kita mendapat pelajaran bahwa, jangan sekali kali mengoperasikan drone anda dekat diatas jalan raya yang berlalu lintas padat.

Setelah drone mengalami insiden dan berhasil diturunkan, kami pun mencoba menerbangkan kembali drone di sebuah lapangan terbuka untuk uji coba, dan pertama kali drone kami mengalami insiden yang sering disebut 'fly away' dimana drone terbang tanpa dapat dikendalikan. Beruntung drone saya switch ke manual mode dan dampak fly away bisa di kendalikan dan mendarat dengan selamat. Moral dari cerita ini, jangan terbangkan drone anda saat sehabis menabrak sesuatu, periksa dulu tingkat vibrasi / getaran pasca insiden. Vibrasi tinggi menyebabkan flight controller tak mampu bekerja sebagaimana mestinya sehingga mengalami crash dan fly away.



Meskipun ada suka duka dalam perjalanan saya menekuni dunia drone fotografi, ada beberapa pelajaran yang saya dapatkan pada fase ini. Pertama adalah Jangan mudah menyerah, bila saja saya menyerah saat helicam saya crash, maka tidak akan pernah ada hari ini. Kedua, Exit from comfort zone, dunia selalu berubah dan berkembang, tinggalkan zona nyaman kita, selalu belajar hal baru, dan sebisa mungkin jadilah yang pertama. Ketiga, belajar dari pengalaman, cari tahu penyebab setiap kegagalan / crash, jadikan referensi agar kejadian serupa tak terulang di masa depan.

Pengalaman akan kegagalan di masa lalu saya jadikan referensi dalam mencegah kejadian serupa terulang di masa depan. Sejak saat itu saya menciptakan sebuah prosedur Pre-flight check yang harus saya lakukan sebelum terbang. Selain itu saya juga membuat list prosedur maintenance dimana beberapa komponen dilakukan pembatasan usia pakai, contohnya adalah Lipo Battery yang seiring dengan usianya akan meningkatkan resiko mengembung diudara 'puff'.  Dan sejak saat itu terhitung dari tahun 2013 sampai akhirnya saya beralih ke drone pabrikan (2017), seluruh drone rakitan saya tidak pernah lagi mengalami insiden meski sudah mencatat ratusan kali penerbangan di berbagai medan dari hutan belantara, perkotaan, gunung, sampai pantai terpencil di papua.

Akhirnya terjawab sudah pertanyaan yang dulu sempat terbesit di pikiran saya waktu Helicam saya nyebur ke sungai, "Apakah ini suratan Tuhan ?", Iya betul, karena seandainya tak ada kejadian itu, mungkin saya masih berkutat pakai Helicam yang super besar, tidak praktis, karena ketidak praktisan ya pasti juga menghambat kreatifitas. Bisa dibayangkan bagaimana bisa saya membawa drone ke puncak gunung dengan drone helicam sebesar dan seberat itu. Cerita ini adalah satu contoh konkrit bahwa dalam segala musibah selalu ambil hikmahnya.

Begitulah kurang lebih cerita mengenai Drone Multirotor pertama yang saya rakit dan saya gunakan. Tak lama saya menggunakan drone jenis ini, selanjutnya saya mulai merakit drone multirotor berikutnya dari tipe quadcopter. Perakitan Quadcopter akan saya bahas dalam blog selanjutnya dengan judul http://www.kaufikanril.com/2013/07/merakit-drone-quadcopter-foto-udara.html .




Komentar

TULISAN LAINNYA

Ada apa di Kabupaten Fakfak Papua Barat ?

Jasa Fotografi & Video Ditawar sadis, berapa sih harga yang wajar ?

Mengintip dan Membandingkan Spesifikasi Drone DJI Mavic Air