Helicam Cikal Bakal Teknik Foto Udara Modern Dengan Drone (Drone story #1)
Helicam yang merupakan cikal bakal drone fotografi |
Pertama-tama saya jelaskan dulu, bahwasannya tulisan ini mengenai cerita awal mula saya merakit dan menggunakan helicam yang saat ini dikenal dengan drone. Ceritanya sendiri bersetting waktu tahun 2011 lampau, tapi baru ditulis dalam bentuk blog tahun 2017, karena saya sendiri baru ngeblog tahun 2017. Terlalu banyak yang ingin diceritakan, tapi dulu-dulu belum punya waktu, nah daripada tidak, ya sudah saya ceritakan sekarang saja. Demi keselarasan timeline / kronologis, date nya saya set di tahun 2011, hanya supaya keliatan rapih dan sesuai waktu aja blog saya yang sederhana ini.
Boys will be boys, meskipun laki-laki sudah dewasa, tapi mainannya masih tetap cenderung sama dengan anak-anak laki. Contohnya: Waktu kecil dulu main mobil-mobilan, main pesawat-pesawatan, nah sudah besar pun ngak jauh dari itu. Hanya saja maianannya makin lama makin mahal meskipun dari jenis yang sama, contohnya ya mainan pria dewasa itu seperti modifikasi mobil / otomotif, Aeromodelling itu sebenernya kan main pesawat-pesawatan.
Beberapa tahun lampau sebagai seorang lelaki tulen, saya sudah tertarik dengan yang namanya dunia Aeromodelling. Waktu itu lagi jalan-jalan ke mall, ada sebuah toko mainan atau hobby store yang khusus menjual Remote Controlled toy dari mobil-mobilan, helicopter, sampai pesawat terbang. Yang jelas ini bukan mainan anak-anak karena harganya mahal. Saya sempat menanyakan, berapa harga helicopter remote RC karena bentuknya keren, dan bisa terbang beneran. Dijawab oleh tokonya sekitar 3,5jt rupiah. Aduuuhhhh mahalnya, sempet dalam hati ini bilang, "Orang gila kali yang beli mainan ginian seharga segitu." Maklum waktu itu masih mahasiswa sekitar tahun 2000, dimana duit segitu begitu berartinya bagi saya.
Tahun demi tahun berjalan, saya menekuni dunia fotografi, dari semua aliran fotografi saya coba dan tekuni. Foto modelling, foto pre wedding, teknik foto infra red yang booming tahun 2006, kebetulan saya ikut komunitas online fotografi besutan Alm. Kristupa saragih yang namanya fotografer.net. Sampai bahkan fotografi bawah air pun saya tekuni, karena saya juga kebetulan penyuka aktifitas Scuba Diving.
Saat merenung di tahun 2011, di benak saya waktu itu cuma bilang, "Hmmm... fotografi darat udah biasa, foto bawah air udah dicoba dari pocket sampai DSLR, satu satunya yang belum dicoba adalah foto udara atau aerial photography". Nah, mulai deh penasaran dikit-dikit, gimana sih yang namanya aerial fotografi itu. Browsing-browsing google waktu itu hanya bermuara pada pemotretan udara dengan menggunakan Pesawat Terbang, baik itu Helicopter atau Fixed Wing. Yahhh... ga kebeli donkkk kalo harus beli pesawat terbang ha ha ha. Tapi entah mengapa saya tetiba teringat akan toko aeromodelling yang pernah saya singgahi itu.
Ide sedikit nyeleneh, gimana kalau kamera pocket yang saya miliki, kita set mode timer, lalu kita ikatkan ke pesawat helicopter mainan itu tadi ? Nah.... gundah gulana deh waktu itu, kebiasaan saya kalo sudah punya ide yg dianggap briliant, langsung ingin cepat-cepat di realisasikan. Hari itu juga saya mengunjungi toko hobby tersebut, dan kebetulan memang masih buka / beroperasi. Masih ingat dulu saya membeli sebuah Helicopter kecil bernama "Belt CP" seharga kurang lebih 2jt an sudah termasuk remote, tinggal terbang.
Target saya waktu itu gak muluk, latihan dulu menerbangkannya, karena jujur aja, SULIT sekali menerbangkan helicopter 6CH yang waktu itu mode full manual tanpa bantuan komputer seperti era drone sekarang. Gimana bayangan mengendalikan helicopter secara manual ? Kalo helicopter miring sedikit ke kanan posisinya, maka dia akan terus lari ke kanan semakin lama semakin cepat, kita harus segera mengcounter gerakan stick kontrol ke arah sebaliknya, nah kalo terlalu banyak kita counter, maka helicopter akan kembali hanyut ke arah tersebut. Demikian juga arah lainnya bukan saja kiri kanan depan belakang, tapi satu lingkaran penuh 360реж. Belum lagi kita harus mengendalikan pitch dan throtle pada stick kiri, tanpa dilengkapi sensor barometer seperti drone modern, maka kita harus mengendalikan throtle/pitch pada stick kiri untuk mempertahankan ketinggian. Jadi kesimpulan, KONSENTRASI PENUH sangat diperlukan untuk mengendalikan helicopter single blade pada mode manual.
Suasana berlatih menerbangkan helicopter Rc 6CH
Berhari-hari saya berlatih di pekarangan rumah, di hari-hari awal, hampir setiap hari helicopter RC saya jatuh, entah itu menabrak, entah itu jatuh, dll. Karena memang sulit sekali mengendalikan helicopter RC 6CH dalam mode manual seperti itu. Setelah kurang lebih habis hampir 2jt hanya untuk perbaikan, tokonya baru menyarankan saya untuk membeli simulator computer sebagai sarana berlatih. Yaaaaa kenapa gak bilang dari kemarinnn ? Tapi syaratnya saya harus dulu membeli Remote Control beneran (professional ceritanya), ada yg namanya merk Futaba, dan JR Spektrum kalo gak salah. Ini berarti saya harus mulai ganti helicopter ke yang jauh lebih bagus dan mahal.
Pada akhirnya memang saya membeli Remote Control 10CH merk FUTABA, dan bisa di hubungkan dengan simulator di PC, harganya kurang lebih 5 jt kalo gak salah, sekalian membeli Helicopter RC yang professional Grade, merknya ALIGN tipe T-REX 550, yang artinya diameter baling-balingnya 550mm, jauh lebih gede ketimbang helicopter saya yang pertama. Tapi dasar harga mahal memang kualitasnya lebih bagus, mengendalikan helicopter yang besar pada mode manual jauh lebih mudah ketimbang helicopter kecil. Jauh lebih stabil !
Setelah berlatih dengan T-REX 550 plus Simulator komputer, singkat cerita saya sudah cukup fasih dengan skill-skill basic, dari Tail in hovering (berlatih terbang hover dengan buntut di belakang), Side in Hovering, sampai yang paling sulit adalah Nose in Hovering). Para pilot drone jaman now yang tidak pernah ngerasain terbang manual, saya jamin langsung jatuh saat mengendalikan Helicopter Single Blade Mode Manual dengan posisi Nose In. Karena pada posisi nose in, gerakan stick semua serba terbalik, stick ke kanan, helicopter ke kiri, dan begitu juga arah depan belakang. Skill-skill lainnya saya pelajari termasuk manuver figure eight, terbang patroli dan lain lain kecuali skill aerobatic yang tidak saya pelajari, karena memang tujuan saya hanya untuk fotografi.
Makin hari makin percaya diri, karena skill piloting seperti ini intinya hanya soal Gigih dalam Berlatih termasuk Berani Gagal dan Bangkit dari kegagalan. Niscaya pasti bisa ! Akhirnya saya putuskan deh merealisasikan ide menempelkan kamera ke Helicopter RC. Setelah browsing di Internet, ehhh ternyata cukup banyak yang satu ide dengan saya ini di dunia maya dari berbagai belahan dunia. Jadi saya tak perlu sulit-sulit mengakali membuat dudukan camera / gimbal untuk dipasang di helicopter. Saya putuskan untuk membeli salah satu gimbal untuk poket camera di salah satu toko online di Taiwan. Karena bentuk helicopter berbeda-beda, maka gimbalnya pun generik saat itu, tidak ada yg spesifik plug and play. Jadi perlu kreativitas kita memodifikasi dan mengakali baik helicopter & gimbal agar bisa dipasang dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Alhasil jadi deh ! Helicamera ! Waktu itu sekira bulan Febuary 2011 kalo gak salah, untung ada Facebook, saya sempat bikin build log dalam bentuk foto yang saya upload ke Facebook saya. Ingin tahu seperti apa hasil video udara yang berhasil diambil oleh helicam pertama saya ?
Meski jauh dari bagus, tapi saat itu sangat puas bisa mengambil foto udara !
Meskipun gambarnya blur karena vibrasi yang berlebihan, tapi senengnya bukan main bisa ngambil gambar dari udara pada waktu itu, disaat drone belum ada ! ha ha ha... Tugas masih panjang rupanya, saya masih harus meriset bagaimana menghilangkan vibrasi, melakukan kontrol terhadap kamera, minimasi shake dan lain-lain. Disitu saya berkenalan dengan teknik Gyro untuk stabilisasi gimbal. Kalo stabiliser jaman sekarang menggunakan teknologi Brushless Motor yang dikendalikan komputer, zaman dulu hanyalah menggunakan Gyro yang diumpankan kepada Servo seperti terlihat pada video ini:
Inilah Gimbal Kamera rakitan jaman kuno menggunakan Servo, Gimbal modern menggunakan brushless motor yang lebih responsif
Target tahap pertama akhirnya bisa dipenuhi, bisa mengambil foto udara dengan tajam, tapi untuk video masih ada shake dan vibrasi yang harus dihilangkan tapi dengan keterbatasan teknologi drone saat itu tentunya sangat sulit. Langkah selanjutnya adalah mempermudah tugas pilot yang terlampau berat saat itu karena harus berkonsentrasi penuh sepanjang penerbangan karena mode terbang manual yang sangat riskan untuk drifting. Itu sebabnya dijaman awal, kendali camera dilakukan oleh operator tersendiri, jadi total pengoperasional dibutuhkan 2 orang, satu orang pilot dan satu orang camera operator.
Inilah cara kami terbang untuk foto udara saat itu tahun 2011
Hari-hari berikutnya saya meriset bagaimana menyederhanakan control pesawat agar pilot tidak terlalu tegang, salah satunya dengan pemasangan flight controller. Apa itu flight controller ? Artinya komputer membantu kendali drone dengan mengacu pada sensor gyroscope. Pada drone modern disebutnya Atti Mode / Attitude Mode. Dengan adanya attitude mode, maka drone memiliki kemampuan auto level yang mencegah pesawat drifting terlalu jauh. Kemampuan leveling seperti ini sangat amat kami syukuri pada zaman itu, meskipun tidak GPS locked seperti drone modern, tapi at least kami pilot bisa sedikit lebih santai menerbangkan drone ketimbang mode full manual.
Teknologi Flight controller pun terus berkembang waktu itu, sampai lahir Controller pertama pabrikan dari Jerman yang pertama kali menawarkan teknologi GPS untuk memudahkan pilot mengendalikan helicopter photography saat itu. Nama produknya adalah HELICOMMAND PROFI, harganya USD 6500. WOW ! Dulu DJI belum sebesar sekarang, tetapi sudah mulai memproduksi flight controller sederhana untuk multirotor.
Helicommand Profi - Flight Controller Helicopter yang paling canggih pada jamannya |
Pada waktu itu, kebetulan rekan menyelam saya Pak Djunaidi dari Brand link production Thailand melihat riset helicam saya dari Facebook. Singkat kata beliau bersedia mendukung riset saya ini, yang sampai akhirnya kami mampu merakit Helicam ukuran besar sampai bentangan blade 800mm dilengkapi dengan flight controller Helicommand Proofi yang paling canggih saat itu dan mengangkat Camera DSLR sekelas Canon 5DM3. Sekitar 2 tahun saya pun membantu banyak project shooting beliau di Thailand untuk brand Nutrifood. Darisinilah saya pun banyak belajar mengenal dunia sinematografi.
Helicam besar yang mampu mengangkat kamera DSLR |
Ada pesan moril dibalik cerita ini, dimana kemauan keras untuk belajar, kegigihan dan keuletan adalah modal utama dalam meraih keberhasilan. Tanpa semangat itu saya rasa mustahil ada hari ini. Yang pasti berkah dari hobby saya tersebut, di akhir tahun 2012 saya sudah berjalan-jalan keliling Thailand, sebutlah dari Provinsi Krabi yang terkenal dengan James Bond Island nya, Phuket, Hua Hin, Bangkok, Ubon Ratchatani, sampai perbatasan laos Pucifa di Chiang Rai.
Akhir tahun 2012 era multicopter sudah dimulai, Piloting Drone sudah lebih mudah jaman itu, di Thailand sudah ada successor saya untuk operate multirotor yang jauh lebih mudah dari Helicam. Selesai dari Thailand, dimulailah petualangan keliling Indonesia, dengan mendirikan bisnis foto udara yang saya namakan HELICAMINDO, websitenya ada disini: www.helicamindo.com . Seperti apa lanjutan cerita ini ? Simak blog tentang perkembangan wahana drone fotografi saya di episode selanjutya (sinetron aja) di http://www.kaufikanril.com/2013/05/beralih-dari-helicam-ke-multicopter-drone.html .
Komentar
Posting Komentar